Minggu, 31 Maret 2013

ANATOMI DAN FISIOLOGI PROSTAT


A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PROSTAT

Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Panjang prostat sekitar 3 cm dan terletak antara collum vesika urinaria (atas) dan diaphragma urogenitalis (bawah). Prostat dikelilingi oleh kapsula fibrosa. Di luar kapsul terdapat selubung fibrosa, yang merupakan bagian dari lapisan visceral fascia pelvis. Prostat mempunyai basis, apex, permukaan anterior dan posterior, dan dua permukaan lateral. Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu : perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan anterior (Mc Neal 1970).


1. Batas-batas prostat
Batas superior : basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica urinaria, otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain.
Batas inferior : apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior.
Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis, dipisahkan dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica(cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan kondensasi vascia pelvis.
Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan anterior ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum retovesicalis (vascia Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke bawah menuju corpus perinealis.
Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m. levator ani waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis.
Ductus ejaculatorius menembus bagisan atas permukaan prostat untuk bermuara pada uretra pars prostatica pada pinggir lateral orificium utriculus prostaticus.
Prostat secara tak sempurna dibagi dalam lima lobus. Lobus anterior, atau isthmus, terletak di depan uretra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius, adalah kelenjar yang berbentuk baji yang terletak antara uretra dan ductus ejaculatorius. Permukaan atasnya dibatasi oleh trigonum vesicae. Bagian ini kaya akan kelenjar. Lobus posterior terletak di belakang uretra dan di baeah ductus ejaculatorius dan juga mengandung jaringankelenjar. Lobus lateral kanan dan kiri terletak di samping uretra dan dipisahkan satu sama lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada permukaan posterior prostat. Lobus lateral mengandung banyak kelenjar.
Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti air susu yang mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Kedua zat ini ditambahkan ke caioran semen pada saat ejakulasi. Otot polos pada stroma dan kapsula berkontraksi dan sekret yang berasawl bersama kelenjar diperas masuk ke uretra pars prostatid. Sekret prostat bersifat alkali yang membantu menetralkan keasamavagina.

Seperti diketahui fungsi utama dari unit vesikouretra adalah menampung urin untuk sementara, mencegah urin kembali ke arah ginjal dan pada saat-saat tertentu melakukan ekspulsi urin. Unit vesikouretra terdiri dari buli-buli dan uretra posterior. Uretra posterior terdiri dari uretra pars prostatika, yang bagian proksimalnya disebut sebagai leher buli-buli dan uretra pars diafragma yang tidak lain adalah spinkter eksterna uretra. Unit vesikouretra ini dipelihara oleh sistem saraf otonom yaitu parasimpatis dan simpatis untuk buli-buli dan uretra proksimal dari diafragma serta saraf somatis melalui nervus pudendus untuk spinkter eksterna. Sistem persyarafan tersebut memungkinkan terjadinya proses miksi secara bertahap (fase) yaitu :
1. Fase Pengisian (Resting /Filling Phase)
Fase ini terjadi setelah selesai miksi dan buli-buli mulai diisi lagi dengan urin dari ginjal yang masuk melalui ureter. Pada fase ini tekanan di dalam buli-buli selalu rendah, kurang dari 20 cm H2O. Sedangkan tekanan di uretra posterior selalu lebih tinggi antara 60-100 cm H2O.

2. Fase Ekspulsi
Setelah buli-buli terisi urin sebanyak 200-300 ml dan mengembang , mulailah reseptor “strechtí” yang ada pada mukosa buli-buli terangsang dan impuls dikirimkan ke sistem saraf otonom parasimpatis di medula spinalis segmen 2 sampai 4 dan sistem syaraf ini menjadi aktif dengan akibat meningkatnya tonus buli-buli (muskulus detrusor). Meningkatnya tonus detrusor ini dirasakan sebagai perasaan ingin kencing. Pada saat tonus detrusor meningkat maka secara sinkron leher buli-buli dan uretra pars prostatika membuka, bentuknya berubah seperti corong dan tekanannya menurun. Pada keadaan ini inkontinensia hanya dipertahankan oleh spinkter eksterna yang masih tetap menutup. Bila yang bersangkutan telah mendapatkan tempat yang dianggap konvivien untuk miksi barulah spinkter eksterna secara sadar dan terjadi miksi. Pada saat tonus detrusor meningkat sampai terjadinya miksi tekanan intravesikal mencapai 60-120 m

2. Perdarahan, penyaliran limfe, dan persyarafan
Arteri yang memperdarahi prostat berasal dari cabang a. vesicalis inferior dan a. rectalis media. Vena membentuk pleksus venosus prostatiticus yang terletak antara kapsula prostat dan selubung fibrosa. Plexus prostaticus menerima v. dorsalis profundus penis dan banyak v. vesicalis , dan mengalirkan darah ke v. iliaca interna. Pembuluh limfe dari prostat mengalirakn cairan limfe ke nodi limfatici iliaca interna. Persarafan prostat berasal dari plexus hipogastricus inferior.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan kurang lebih 25% dari volume ejakulat. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

B. ETIOLOGI BPH
Penyebab dari BPH sampai sekarang belum dapat dipahami dengan jelas. Tidak ada informasi yang jelas tentang faktor resiko terjadinaya BPH. Beberapa penelitian menunjukan bahwa BPH banyak terjadi pada orang tua dan tidak berkembang pada pria yang testisnya diambil sebelum usia pubertas. Karena alasan ini, beberapa peneliti percaya bahwa faktor yang berhubungan dengan usia dan testis pria sangat berpengaruh dengan perkembangan BPH. Pria memproduksi hormon terpenting pada sistem reproduksi yaitu testosteron dan sebagian kecil adalah hormon estrogen. Pada saat pria mulai berumur maka jumlah testosteron yang aktif di dalam darah menurun dan kadar estrogen lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa BPH disebabkan oleh tingginya kadar estrogen dalam darah disertai dengan peningkatan aktivitas dari substansi yang mempercepat pertumbuhan sel.
Walaupun prostat terus membesar selama lebih dari separuh hidup manusia, pembesarannya tidak selalu menimbulkan masalah sampai pada usia terakhir manusia. Dengan bertambahnya usia akan terjadi keseimbangan testosteron estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopiuk ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan tanda dan gejala klinik.
Penelitian lain mengatakan BPH lebih banyak disebabkan karena dehidrotestoteron (DHT), yaitu substansi yang merupakan derivat dari testoteron dalam prostat yang membantu mengatur pertumbuhan kelenjar prostat. Beberapa binatang kehilangan kemampuannya untuk memproduksi DHT ketika tua. Walau demikian, beberapa penelitian menyatakan bahwa walaupun kadar testoteron dalam darah menurun tetapi DHT terkumpul dalam jumlah besar di dalam prostat. Akumulasi DHT ini mengakibatkan pertumbuhan sel. Jadi para peneliti tersebut menitikberatkan bahwa pria yang tidak memproduksi DHT tidak terjadi pembesaran kelenjar prostat..
Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya:

1.Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2.Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. Ia menyimpulkan bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada usia dewasa.
3.Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4.Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor- b (TGF - b, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan kongenital berupa defisiensi 5-a reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran androgen dan estrogen dalam BPH adalah kompleks dan belum jelas benar. Tindakan kastrasi sebelum masa pubertas dapat mencegah BPH. Pasien dengan kelainan genetik pada fungsi androgen juga mempunyai gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen diperlukan untuk memulai proses PPJ, tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan. Estrogen berperan dalam proses hiperplasia stroma yang selanjutnya merangsang hiperlpasia epitel.

C. PATOGENESIS
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahannya juga terjadin secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat dan dapat terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga dapat menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.

D. GEJALA DAN TANDA KLINIS
1. Gejala Klinis
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai sindroma prostatisme. Walaupun begitu sindroma ini tidak patogomonik untuk BPH. Obstruksi intra vesikal yang lain dapat pula memberikan gejala klinis seperti sindroma prostatisme ini. Oleh karena itu istilah ini belakangan sering diganti dengan Lower Urinary Tract Symptom (LUTS). Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif.

Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong (Incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow. Kedua, gejala iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence). Dari kedua macam gejala tersebut, gejala obstruktif biasanya lebih menonjol. Bila terjadi gejala iritasi lebihmenonjol harus dipikirkan penyebab lain selain BPH.

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,2,5. Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat1. Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat. Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya.

2. Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi. Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan.


F. PEMERIKSAAN FISIK
BPH biasanya mengenai pria usia lanjut oleh karena itu pada pemeriksaan fisik kita menghadapi pria dengan tanda-tanda usia lanjut seperti rambut telah beruban, pada kulit muka terdapat keriput dsb. Tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, respirasi biasanya cukup baik kecuali bila BPH nya telah disertai berbagai penyulit. Karena usia penderita yang cukup lanjut, pemeriksaan keadaan umum penderita harus dikerjakan dengan teliti, tidak jarang terdapat penyakit-penyakit lain seperti hipertensi, obstruksi jalan nafas kronis, penyakit parkinson, diabetes melitus, bekas stroke dan lain-lain. Pemeriksaan abdomen juga harus diteliti. Daerah pinggang kanan dan kiri harus diperiksa dengan teknik palpasi bimanual. Bila ginjal teraba, patut dicurigai adanya hidronefrosis karena stasis urin. Bila penderita merasakan nyeri pada saat ditekan agak kuat, mungkin terdapat pyelonefritis.
Pada inspeksi daerah suprasimfisis, bila penderita dalam keadaan retensio urine, akan kelihatan menonjol. Penonjolan ini bila dipalpasi akan terasa adanya balottement dan penderita akan tersa ingin kencing. Kemudian dengan cara perkusi dapat diperkirakan ada tidaknya residual urine Penting juga memeriksa penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan penyebab yang lain dari keluhannya misalnya adanya stenosis meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma ataupun fimosis. Scrotum bisa juga diperiksa untuk menentukan ada tidaknya hernia, orchitis maupun epidiymitis
Pemeriksaan Colok Dubur (Rectal Toucher = RT)

Sebelum dilakukan RT, penderita harus diminta miksi lebih dulu dan bila penderita dalam keadaan retentio urin, RT dikerjakan setelah buli-buli dikosongkan dengan kateter. Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, keadaan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat.
Tujuan dari RT adalah :

1. Menentukan konsistensi dari prostat
Konsistensi prostat benigna seperti kalau kita menekan ujung hidung kita dan permukaan seluruh kelenjar biasanya rata (halus). Bila konsistensi prostat berdungkul atau terdapat bagian yang lebih keras, seperti kalau menekan daerah tulang hidung atau sendi jari maka harus dipikirkan adanya karsinoma, prostatitis kalkulosa, tbc prostat atau prostatitis granulomatosa.
2. Menentukan besarnya prostat
Secara RT besarnya prostat normal tersebut ditandai dengan batas batas yang jelas, yaitu sulcus lateralis mudah diraba, batas atas juga mudah diraba. Dan ditengahnya terdapat sulkus mediana yang juga mudah diraba.
Menentukan besarnya prostat secara RT keakuratannya rendah karena memang banyak kendalanya, yaitu:
Memerlukan banyak pengalaman
Faktor subyektifitasnya besar, antara satu pemeriksa dengan pemeriksa lain sangat bervariasi.
Sering prostat membesar intra vesika.
Secara RT besarnya prostat dibedakan :
- grade (derajat ) I : perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
- grade (derajat) II : perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
- grade (derajat) III : perkiraan beratnya lebih dari 40 gram


3. Menentukan sistem persyarafan unit vesiko urtetra.
Tonus sphinter yang normal, tidak longgar waktu jari telunjuk dimasukkan dan refleks bulbo kaverosa (BCR) yang positif menandakan bahwa persyarafan unit vesiko uretra tidak intake. Bila dengan mendadak glans penis ditekan dengan tangan kiri dan pada jari telunjuk yang di rektum terasa kontarksi dari sphinter ani maka dikatakan bahwa BCR positif.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaa darah lengkap, faal ginjal, elektrolit serum, perlu dikerjakan sebagai dasar keadaan umum penderita. Pemeriksaan kadar gula juga perlu dikerjakan terutama untuk megetahui kemungkinan adanya neuropati diabetes yang dapat menyebabkan keluhan miksi. Pemeriksaan urinalisa juga harus dikerjakan, termasuk pemeriksaan bakteriologiknya. Adanya hematuria berarti perlu evaluasi lenjut secara lengkap. Pemeriksaan petanda tumor (Prostate Spesific Antigen = PSA) sudah banyak digunakan, juga merupakan salah satu sarana untukmenyingkirkan dugaan keganasan.
Harap diingat bahwa masa prostat yang besar dapat menaikkan kadar PSA dalam darah dalam batas-batas tertentu. Hasil PSA yang normal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum memulai terapi medikamentosa BPH. Sebagai pegangan penilaian PSA diintrepetasikan sebagai berikut :
Nilai PSA
Interpretasi
0,5-4,0 ng/ml
Normal
4,0-10 ng/ml
Kemingkinan Ca 20 % (perlu TRUS & biopsi)
> 10 ng/ml
Kemingkinan Ca 50 % (Perlu TRUS & biopsi)
Kenaikan > 20%/th
Segera rujuk untuk TRUS & biopsi

2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin ini dapat diperiksa dengan Uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup untuk mendapatkan flowmetrogram yang representatif palaling sedkit 150 ml dan maksimal 400 ml, yang ideal antara 200-300 ml.
Penilaian hasil :
Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif
10-15 ml/detik : border line
10 ml/detik : obstruktif
Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, Uroflowmetri merupakan cara terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi traktus urinarius bagian bawah.

3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
Perkembangan teknik pemeriksaan ultrasonogarfi (USG) membawa manfaat yang besar bagi evaluasi penderita BPH. Selain itu dengan USG ini dapat pula diperiksa buli-buli, misalnya ada batu buli-buli, tumor buli-buli, divertikel. Juga dapat diperiksa jumla residual urine. Terdapat beberapa macam tranducer untuk pemeriksaan prostat yaitu suprapubic (abdominal), transrektal dan transuretral.
Pemeriksaan Rontgenologik yaitu pyelografi intravena (IVP) sekarang tidak lagi merupakan pemeriksaan rutin untuk evaluasi penderita BPH tetapi hanya dikerjakan secara selektif.

4. Pemeriksaan Panendoskopi :
Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review :
Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra
Keadaan uretra prostatika, bagian prostat mana yang membesar, panjangnya uretra yang obstruktif karena pembesaran prostat
Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor, ada tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui kapasitas buli-buli.

H. DIAGNOSA BANDING
Sindroma prostatisme tidak hanya disebabkan oleh BPH, tetapi dapat pula disebabkan beberapa penyakit lain. Beberapa penyakit lain serta pedoman membedakannya seperti dibawah ini :
1. striktur uretra
2. Stenosis leher buli-buli
3. Batu buli-buli atau batu yang menyumbat uretra posterior
4 .Karsinoma prostat
5. prostatitis/prostatodinia
6. Buli-buli neuropati.
7. Pengaruh obat-obatan (Simpatolitik, Psikotropik, Alfa Adrenergik)

I. TERAPI
Tidak semua penderita BPH memerlukan terapi, untuk menentukan apakah penderita BPH perlu mendapatkan terapi serta modalitas terapi mana yang akan dipilih tergantung dari berat ringannya keluhan serta tanda-tanda klinis dari penderita. Keluhan ringan, sedang atau bert dinilaindengan menggunakan sistem skoring. Bebereapa modalitas terapi untuk BPH antara lain :

1. Watchful Waiting (Observasi)
Watchful atau observasi adalah hanya mengawasi saja secara berkala dan tidak memberikan pengobatan. Pengawasan berkala maksudnya adalah memeriksa ulang setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan penderita. Pada pemeriksaan ulang ini dinilai skor dari simtomnya, fisik, laboratorium dan flow urinnya. Indikasi dari sikap ”watchful“ adalah BPH yang diketemukan secara kebetulan, penderita dengan keluhan yang ringan (berdasarkan nilai skoring) serta tidak dijumpai penyulit.

2. Medikamentosa
Indikasi dari terapi medikamentosa adalah BPH dengan keluhan ringan, sedang, berat tanpa disertai penyulit dan BPH dengan indikasi terapi pembedahan tetapi masih terdapat indikasi kontra atau belum “well motivied”. Macam obat yang digunakan adalah :
a. Supresi Androgen
Asumsi yang mendasari terapi dengan supresi androgen pada BPH adalah kontrasi atau supresi androgen menurunkan volume dan gejala prostat pada penderita BPH, dan pria dengan kelainan bawaan berupa defisiensi enzim 5 α reduktase, ternyata kelenjar prostat tidak berkembang. Supresi androgen dapat terjadi dengan memberikan :
1) Penghambat enzim 5 α reduktase
2) Anti androgen
3) Analog Luteinizing hormone relasting hormone (LHRH).
Anti androgen dan analog LHRH tidak dipakai untuk pengobatan BPH karena efek sampingnya sangat merugikan. Efek samping tersebut ialah hilangnya libido, impotensi, hilangnya habitus pria, ginekomastia dan rasa panas di wajah. Keuntungan dari inhibitor 5 α reduktase adalah tidak menurunkan kadar testoteron di dalam darah, sehingga efek samping seperti disebutkan diatas jarang terjadi. Prinsip kerja dari obat ini menghambat metabolisme testoteron menjadi dehidrotestoteron (DHT) yang mrupakan zat aktif perangsang terjadinya hiperplasi prostat. Obat 5 α reduktase yng tersedia di pasar adalah golongan Finasterida dengan nama dagang di Indonesia PROSCAR. Obat ini diberikan per oral, sekali sehari/ tablet. Secara berkala penderita diperiksa lagi dan dievaluasi parameter pra terapi. Bila menunjukkan perbaikan terapi diteruskan dan bila tidak, dipertimbangkan terapi pembedahan.

b. Golongan Alpha Blocker
Tegangan otot polos prostat dikontrol dominan oleh reseptor alpha-1. Kontraksi otot polos prostat, yang merupakan bagian dari sindroma obstruktif BPH, dapat dihambat oleh obat-obat alpha blocker, misalnya : phenoxybenzamin, alfuzosin, doxazin, indoramin dan terazosin. Tetapi harus dimulai dengan dosis rendah dan dengan hati-hati dinaikkan, tergantung respons individual. Penelitian kontrol plasebo, menunjukkan bahwa alpha blocker dapat memperbaiki flow urin dan gejala-gajala BPH. Obat ini harus diberikan dengan cara titrasi (dosis dinaikkan bertahap), biasanya perbaikan tampak 2-3 minggu setelah pemberian dan bila tidak ada efek setelah 3-4 bulan pemberian secara titrasi, maka alternatif terapi lain harus dipertimbangkan.
Pada tiga studi menggunakan alpha blocker menghasilkan hasil yang sama. Skor keluhan menurun dengan mean 16,85-17,9% dibanding 14,5% pada plasebo. Flow urin membaik kurang lebih 3 ml/ detik.
Efektifitas jangka panjang belum diketahui. Efek samping yang dapat terjadi meliputi takikardi, palpitasi, kelemahan, lelah dan hipertensi postural yang dapat menimbulkan masalah pada pasien-pasien pasca penyakit serebrovaskuler atau riwayat sinkop. Pusing atau vertigo dan sefalgia terjadi pada 10-15% pasien, dan hipertensi postural pada 2-5% pasien.

3. Intervensi Invasif
1) Open prostatektomi
Dikenal 2 cara :
a. Freyer
Teknik : suprapubik transvesikacal prostatektomi
Balfied tahun 1887 pertama kali melakukan pembedahan cara ini, kemudian oleh Sir Peter Freyer dari London dilaporkan pada kongres SIU di Paris tahun 1900.
b. Millin
Teknik : Retropubik transkapsular prostatektomi.
Tahun 1945 dikenalkan oleh Terence Millin dari Inggris
Keuntungan : Sumber perdarahan jelas dan apeks prostat lebih mudah dicapai.
Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau yang diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam. BPH yang disertai penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih dari 2,5 cm atau multipel dan bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan TUR Prostat baik sarana maupun tenaga ahlinya.

2) Transuretra Reseksi Prostat (TURP)
Pada tahun 1900 diperkenalkan konsep tabung berjendela oleh Hugh Hampton Young dan tahun 1913 Reseksi prostat secara Sistoskopik dikerjakan pertama kali, alat tersebut dimasukkan ke dalam jaringan dan secara “blind” memotong jaringan tersebut dengan pisau yang terdapat dalam tabung tersebut.. Tahun 1924 Reinholdt Wapper dan George Wyeth menemukan electrical Cutting, kemudian Bowie dari Harvard berhasil mengembangkan suatu generator yang berfungsi sebagai cutting dan coagulating. Mc Carthey pada tahun 1932 memperkenalkan alat resektoskop penerawangan langsung dengan lensa for oblique dan kawat lengkung yang berfungsi sebagai pemotong dan koagulasi jaringan prostat. Sejak saat itu sampai sekarang reseksi prostat transuretra menjadi “gold standard” dari pembedahan prostat dan merupakan tindakan endo Urologik terbanyak (90-95%) untuk mengatasi obstruksi intravesikal yang disebabkan oleh BPH.

3) Transuretra Insisi Prostat (TUIP)
Pada TUIP tidak dikerjakan reseksi prostat tetapi hanya melakukan insisi pada posisi jam 5 dan jam 7 dari kelenjar prostat dengan menggunakan pisau dari Collin. TUIP pertama kali dilaporkan oleh ORANDI pada tahun 1973. TUIP hanya dikerjakan untuk BPH obstruktif yang ukurannya kecil, besar RT derajat I atau kurang dari 20 gram. Keuntungan dari TUIP adalah waktu operasi dan waktu rawat inap yang lebih singkat, penyulit yang jauh lebih sedikit tetapi insiden prostat kambuh tentu lebih sering yang masih berbeda pendapat adalah permasalahan tentang panjangnya serta dalamnya insisi.

4) Transuretra Laser Insisi Prostat (TULIP)
Sinar laser sudah lama berperanan dalam pembedahan dan terbukti manfaatnya. Jenis laser yang digunakan pada terapi BPH adalah Nd YAG laser. Pada tahun 1985 SHANBERG melaporkan penggunaan laser pada prostatektomi. Kendala utamanya adalah belum bisa mengarahkan sinar laser secara akurat. Juga karena yang digunakan saat itu kontak laser maka terjadi pengarangan pada ujung probe sehingga kekuatan laser berkurang. Saat ini telah berhasil dibuat peralatan untuk membelokkan sinar laser sehingga tepat mengenai lobus lateral dari prostat. Juga jenis probenya adalah non kontak probe.

4. Intervensi Invasif Minimal
Meliputi :
1) Transuretral Ballon Dilatasi (TUBD)
Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F dengan tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika di dilatasi selama 10-30 menit. Terapi ini dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus medius. Terdapat perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah tindakan walaupun secara sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah uretra prostatika pra dan pasca tindakan.
2) Prostat Stent
Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent dipasang di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat.
3) Terapi Termal , dibagi menjadi tiga macam antara lain :
a. Hipertermi
Kelenjar prostat dipanasi 41-45° C, dan pemanasannya dikerjakan dengan menggunakan “probe” baik transrektal ataupun transuretral. Pemanasan dilakukan beberapa kali dengan frekwensi 1-2 kali/ minggu. Setiap kali pemanasan berlangsung kurang lebih satu jam.
b. Transuretral Mikrowave Termoterapi (TUMT)
Termoterapi adalah penyempurnaan dari terapi hipertermia. Dengan menggunakan kateter 22F yang dihubungkan dengan sumber panas mikrowave 1296 MHZ, prostat dipanaskan 45-60° C, sementara itu secara terus-menerus uretra didinginkan sehingga mukosanya tidak rusak. Temperatur juga dipantau terus menerus. Dengan pemanasan yang cukup tinggi tadi akan terjadi destruksi, koagulasi dan akhirnya nekrosis. Pada termoterapi pemanasan dilakukan satu kali. Keuntungannya adalah tidak memerlukan anestesi umum maupun regional, tetapi peralatannya relatif mahal
c. Transuretral Needle Ablasi (TUNA)
Dengan menggunakan alat khusus yang dimasukkan ke kelenjar prostat, kemudian dengan microwave prostat dipanaskan sampai 120° C. Hasil yang pernah dilakukan menunjukkan perbaikan flow maksimal dari 9 ml/ deti menjadi 17 ml/ detik. Penelitian multi senter terus dikerjakan agar mendapat kasus yang cukup banyak untuk dapat diambilk kesimpulan guna generalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Snell, Richard S., 1998, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed.3., EGC, Jakarta
Purnomo, Basuki B., 2000, Dasar-Dasar Urologi, Sagung Sto, Jakarta.
Hardjowijoto, S., 1999, Benigna Prostat Hiperplasi, Airlangga University Press, Surabaya.
Wijanarko, S., Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH), disampaikan pada temu Ilmiah Penatalaksanaan BPH Pada Tanggal 2 Oktober 1999 di Sukoharjo Room Hotel Sahid Raya Surakarta.
http://www.jr2.ox.ac.uk/bandolier/journal.html
http://www.nature.com/ncpuro/journal/v2/n9/index.html
http://www.ahcpr.gov/clinic/medtep.bphport.htm#bphpsum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar